Sebelum
membahas menganai hakikat pendidikan Islam sebagai disiplin Ilmu,
terlebih dahulu kita bahas arti
pendidikan dalam syarat-syarat suatu ilmu pengetahuan.
Karena dari pembahasan ini akan
muncul adanya benang merah antara pendidikan,
maupun pendidikan Islam dengan ilmu
pengetahuan. Menurut Dr. Sutari Barnadib ilmu
pengetahuan adalah suatu uraian yang
lengkap dan tersusun tentang suatu obyek.
Berbeda dengan Drs. Amir Daien yang
mengartikan bahwa ilmu pengetahuan adalah
uraian yang sistematis dan metodis
tentang suatu hal atau masalah. Oleh karena itu ilmu
pengetahuan itu menguraikan tentang
sesuatu, maka haruslah ilmu itu mempunyai
persoalan, mampunyai masalah yang
akan dibicarakan. Persoalan atau masalah yang
dibahas oleh suatu ilmu pengetahuan
itulah yang merupakan obyek atau sasaran dari ilmu
pengetahuan tersebut. Dalam dunia
ilmu pengetahuan ada dua macam obyek yaitu obyek
material dan obyek formal. Obyek
material adalah bahan atau masalah yang menjadi
sasaran pembicaraan atau
penyelidikan dari suatu ilmu pengetahuan. Misalnya tentang
manusia, tentang ekonomi, tentang
hukum, tentang alam dan sebagainya. Sedangkan
yang dimaksud dengan obyek foramal
adalah sudut tinjauan dari penyelidikan atau
pembicaraan suatu ilmu pengetahuan.
Misalnya tentang manusia. Deri segi manakah kita
mengadakan penelaahan tentang
manusia itu? Dari segi tubuhnya atau dari segi jiwanya?
Jika mengenai tubuhnya, mengenai
bagian-bagian tubuhnya atau mengenai fungsi
bagian-bagian tubuh itu. Dua macam
ilmu pengetahuan dapat mempunyai obyek material
yang sama. Tetapi obyek formalnya
tidak boleh sama, atau harus berbeda. Contoh ilmu
psikologi dengan ilmu biologi
manusia. Kedua macam ilmu pengetahuan ini mempunyai
obyek material yang sama yaitu
manusia, tetapi, kedua ilmu itu mempunyai obyek formal
yang berbeda.
Obyek
formal dari ilmu psikologi adalah keadaan atau kehidupan dari jiwa Sebelum
membahas menganai hakikat pendidikan
Islam sebagai disiplin Ilmu, terlebih dahulu kita
bahas arti pendidikan dalam
syarat-syarat suatu ilmu pengetahuan. Karena dari
pembahasan ini akan muncul adanya
benang merah antara pendidikan, maupun
pendidikan Islam dengan ilmu
pengetahuan. Menurut Dr. Sutari Barnadib ilmu
pengetahuan adalah suatu uraian yang
lengkap dan tersusun tentang suatu obyek2.
Berbeda
dengan Drs. Amir Daien yang mengartikan bahwa ilmu pengetahuan adalah
uraian yang sistematis dan metodis
tentang suatu hal atau masalah. Oleh karena itu ilmu
pengetahuan itu menguraikan tentang
sesuatu, maka haruslah ilmu itu mempunyai
persoalan, mampunyai masalah yang
akan dibicarakan. Persoalan atau masalah yang
dibahas oleh suatu ilmu pengetahuan
itulah yang merupakan obyek atau sasaran dari ilmu
pengetahuan tersebut. Dalam dunia
ilmu pengetahuan ada dua macam obyek yaitu obyek
material dan obyek formal. Obyek
material adalah bahan atau masalah yang menjadi
sasaran pembicaraan atau
penyelidikan dari suatu ilmu pengetahuan. Misalnya tentang
manusia, tentang ekonomi, tentang
hukum, tentang alam dan sebagainya. Sedangkan
yang dimaksud dengan obyek foramal
adalah sudut tinjauan dari penyelidikan atau
pembicaraan suatu ilmu pengetahuan.
Misalnya tentang manusia. Deri segi manakah kita
mengadakan penelaahan tentang
manusia itu? Dari segi tubuhnya atau dari segi jiwanya?
Jika
mengenai tubuhnya, mengenai bagian-bagian tubuhnya atau mengenai fungsi
bagian-bagian tubuh itu. Dua macam
ilmu pengetahuan dapat mempunyai obyek material
yang sama. Tetapi obyek formalnya tidak
boleh sama, atau harus berbeda. Contoh ilmu
psikologi dengan ilmu biologi
manusia. Kedua macam ilmu pengetahuan ini mempunyai
obyek material yang sama yaitu
manusia, tetapi, kedua ilmu itu mempunyai obyek formal
yang berbeda. Obyek formal dari ilmu
psikologi adalah keadaan atau kehidupan dari jiwa
manusia itu. Sedangkan, obyek formal
dari ilmu biologi manusia adalah keadaan atau
kehidupan dari tubuh manusia itu.
Selanjutnya dari batasan ilmu pengetahuan di atas
mengharuskan bahwa uraian dari suatu
ilmu pengetahuan harus metodis. Yang dimaksud
dengan metodis di sini adalah bahwa
dalam mengadakan pembahasan serta penyelidikan
untuk suatu ilmu pengetahuan itu
harus menggunakan cara-cara atau metode ilmiah, yaitu
metode-metode yag biasa dipergunakan
untuk mengadakan penyelidikan-penyelidikan
ilmu pengetahuan secara modern.
Metode-metode yang dapat dipertanggunagjawabkan,
yang dapat dikontrol dan dibuktikan
kebenarannya.
Melakukan
sebuah pencarian ilmu menjadi sebuah tugas harian bagi para
intelektual. Pemikiran-pemikiran
keilmuan yang ada senantiasa dikaji, diteliti, dan
diverifikasi, sehingga menghasilkan
temuan-temuan baru yang kadang mencengangkan
dunia. Dunia sains yang begitu
hingar bingar memang telah memberikan sebuah
kontribusi besar bagi peradaban
dunia ini. Peradaban modern yang diawali dengan
revolusi industri Inggris dan
Perancis tahnu 1789 menjadi titik berangkatnya.
Di balik kecanggihan sains modern
ternyata memiliki kontribusi terhadap munculnya
diskrepansi dan dehumanisasi.
Tentunya perlu ada semacam evaluasi terhadap ilmu,
penggagas dan pengguna ilmu. Tak
ayal muncullah apa yang disebut korupsi dalam ilmu
pengetahuan yang diintrodusir oleh
Arnold dalam bukunya The Corrupted Sciences:
Challenging the Myths of Modern Science
(1992). Ia menulis seperti ini tentang sains
modern sekarang:
“Modern sciences and technologies
are corrupt not because they are evils in
themselves… but because many
perceptions in, and methods of, science are wrong
in theory and in practice, and
because many scientists refuse to face the
consequences of their work or make
value judgements about its possible
applications. Such an attitude makes
technicians out of those who profess to practice
science.”
Menurutnya,
ada semacam ketidaksejalan antara teori dan praktek dan penolakan
para ilmuwan menghadapi konsekuensi
dari pekerjaan mereka. Kemudian ini
menghasilkan apa yang ia sebut
sebagai “dosa yang mematikan dari sains modern”.
Paling tidak ada delapan “dosa” yang
menurutnya saling berkaitan satu sama lainnya.
Pertama, orientasi mekanistis dan
materialis yang eksklusif, kebanyakan sebagai warisan
dari agama-agama konvensional;
kedua, keasyikan dalam beroperasi (’how’ things work)
dengan melepaskan sebab dan
akibatnya (’why’ things work).
Ketiga, spesialisasi yang berlebihan
yang tidak berhubungan dengan persoalan global;
keempat, hanya mengungkap
“pengetahuan yang tampak” (revealed knowledge) untuk
menciptakan hanya satu jenis
pengetahuan; kelima, melayani vested-interest dan mode;
keenam, dedikasi kepada
pesanan-pesanan sesuai kebutuhan, dipublikasikan,
disembunyikan atau dilenyapkan;
ketujuh, kepura-puraan bahwa ilmu itu adalah bebas
nilai; dan kedelapan, kebanyakan
dari sains dewasa ini, sebagaimana agama-agama Barat
dan filsafat Barat selama ini, tidak
berpusat pada manusia. Enam “dosa” terakhir
dunia.
Dunia
sains yang begitu hingar bingar memang telah memberikan sebuah
kontribusi besar bagi peradaban
dunia ini. Peradaban modern yang diawali dengan
revolusi industri Inggris dan
Perancis tahnu 1789 menjadi titik berangkatnya.
Di
balik kecanggihan sains modern ternyata memiliki kontribusi terhadap munculnya
diskrepansi dan dehumanisasi.
Tentunya perlu ada semacam evaluasi terhadap ilmu,
penggagas dan pengguna ilmu. Tak
ayal muncullah apa yang disebut korupsi dalam ilmu
pengetahuan yang diintrodusir oleh
Arnold dalam bukunya The Corrupted Sciences:
Challenging the Myths of Modern
Science (1992). Ia menulis seperti ini tentang sains
modern sekarang:
“Modern sciences and technologies
are corrupt not because they are evils in
themselves… but because many
perceptions in, and methods of, science are wrong
in theory and in practice, and
because many scientists refuse to face the
consequences of their work or make
value judgements about its possible
applications. Such an attitude makes
technicians out of those who profess to practice
science.”
Menurutnya,
ada semacam ketidaksejalan antara teori dan praktek dan penolakan
para ilmuwan menghadapi konsekuensi
dari pekerjaan mereka. Kemudian ini
menghasilkan apa yang ia sebut
sebagai “dosa yang mematikan dari sains modern”.
Paling tidak ada delapan “dosa” yang
menurutnya saling berkaitan satu sama lainnya.
Pertama, orientasi mekanistis dan
materialis yang eksklusif, kebanyakan sebagai warisan
dari agama-agama konvensional;
kedua, keasyikan dalam beroperasi (’how’ things work)
dengan melepaskan sebab dan
akibatnya (’why’ things work).
Ketiga,
spesialisasi yang berlebihan yang tidak berhubungan dengan persoalan global;
keempat, hanya mengungkap
“pengetahuan yang tampak” (revealed knowledge) untuk
menciptakan hanya satu jenis
pengetahuan; kelima, melayani vested-interest dan mode;
keenam, dedikasi kepada
pesanan-pesanan sesuai kebutuhan, dipublikasikan,
disembunyikan atau dilenyapkan;
ketujuh, kepura-puraan bahwa ilmu itu adalah bebas
nilai; dan kedelapan, kebanyakan
dari sains dewasa ini, sebagaimana agama-agama Barat
dan filsafat Barat selama ini, tidak
berpusat pada manusia. Enam “dosa” terakhir
sebenarnya merupakan watak khas
dalam ilmu-ilmu sosial, seperti juga dalam psikologi.
Sehingga orang akan baru dikatakan
sebagai ilmuwan jika dapat memenuhi kriteria-
kriteria tersebut. Misalnya dalam
hal obyektifitas dalam penelitian, seorang peneliti
diharuskan untuk menjaga jarak
dengan obyek yang akan diteliti. Ini diperlukan agar
muncul kenetralan dan tidak
dicampuri oleh bias peneliti.
Berbagai macam usaha untuk
memverifikasi bahkan memfalsifikasikan sebuah sains
telah lama berkembang. Temuan-temuan
baru tentang fenomena yang muncul dalam
sains semakin memperkaya khasanah,
dan di sisi lain semakin mengungkap hal-hal
tersembunyi yang oleh beberapa
saintis bisa jadi tidak masuk dalam kategori sains, baik
sebagai obyek kajian maupun landasan
paradigmatiknya. Misalnya, pemahaman kaum
materialis terhadap sains yang
menyatakan bahwa hal-hal yang materilah yang menjadi
objek sains. Pertanyaan mengenai
materi itu apa juga menjadi perdebatan tersendiri.
Misalnya, mengenai proton yang
disebut sebagai materi, padahal penampakan secara
materi kasat mata, ia tak terlihat.
Yang terlihat hanyalah jejak-jejak yang tertinggal di
laboratorium.
Dalam
Islam pun muncul semangat memunculkan kajian keilmuan dengan landasan
paradigmatik dari Islam. Jika
ditengok kembali ke sejarah, Islam memang pernah berjaya
di sekitar abad 8-15 masehi. Saat
itu bidang-bidang keilmuan dasar didalami secara serius
oleh para ilmuwan dan cendekiawan
muslim. Namun sejak dikuasainya Baghdad oleh
pasukan Jenghis Khan, saat itulah
mulai terjadi masa-masa gelap (dark age) di kalangan
umat Islam. Ilmu-ilmu yang telah
terkodifikasi rapi dalam manuskrip dan buku-buku,
kemudian dibakar dan dilarung ke
sungai Tigris.
Selain
itu juga persinggungan orang-orang Eropa dengan ilmu-ilmu yang dikembangkan
Islam tersebut ikut andil
mengakselerasi kemampuan orang Eropa dalam penguasaan
keilmuan yang gongnya adalah
terjadinya revolusi industri pada abad ke-17.
Pergulatan Ide Sains dan Islam:
Pandangan Beberapa Tokoh
Leif Stenberg dalam bukunya The
Islamization of Science: Four Muslims Positions
Developing an Islamic Modernity
(1996) menyebutkan bahwa titik berangkat diskursus
hubungan sains dan Islam adalah saat
Ernest Renan (w. 1892) memulai perdebatan tahun
1883 di Paris yang kemudian direspon
pertama kalinya oleh Jamaluddin al-Afghani (w.
1897). Menurut Renan antara Islam
dan sains itu bertentangan (incompatible). Sejak saat
itu kemudian perdebatan ini menjadi
begitu kompleks khususnya di paruh abad kedua
puluh.
sebenarnya merupakan watak khas
dalam ilmu-ilmu sosial, seperti juga dalam psikologi.
Sehingga
orang akan baru dikatakan sebagai ilmuwan jika dapat memenuhi kriteria-
kriteria tersebut. Misalnya dalam
hal obyektifitas dalam penelitian, seorang peneliti
diharuskan untuk menjaga jarak
dengan obyek yang akan diteliti. Ini diperlukan agar
muncul kenetralan dan tidak
dicampuri oleh bias peneliti.
Berbagai
macam usaha untuk memverifikasi bahkan memfalsifikasikan sebuah sains
telah lama berkembang. Temuan-temuan
baru tentang fenomena yang muncul dalam
sains semakin memperkaya khasanah,
dan di sisi lain semakin mengungkap hal-hal
tersembunyi yang oleh beberapa
saintis bisa jadi tidak masuk dalam kategori sains, baik
sebagai obyek kajian maupun landasan
paradigmatiknya. Misalnya, pemahaman kaum
materialis terhadap sains yang
menyatakan bahwa hal-hal yang materilah yang menjadi
objek sains. Pertanyaan mengenai
materi itu apa juga menjadi perdebatan tersendiri.
Misalnya, mengenai proton yang
disebut sebagai materi, padahal penampakan secara
materi kasat mata, ia tak terlihat.
Yang terlihat hanyalah jejak-jejak yang tertinggal di
laboratorium.
Dalam
Islam pun muncul semangat memunculkan kajian keilmuan dengan landasan
paradigmatik dari Islam. Jika
ditengok kembali ke sejarah, Islam memang pernah berjaya
di sekitar abad 8-15 masehi. Saat
itu bidang-bidang keilmuan dasar didalami secara serius
oleh para ilmuwan dan cendekiawan
muslim. Namun sejak dikuasainya Baghdad oleh
pasukan Jenghis Khan, saat itulah
mulai terjadi masa-masa gelap (dark age) di kalangan
umat Islam. Ilmu-ilmu yang telah
terkodifikasi rapi dalam manuskrip dan buku-buku,
kemudian dibakar dan dilarung ke
sungai Tigris.
Selain
itu juga persinggungan orang-orang Eropa dengan ilmu-ilmu yang dikembangkan
Islam tersebut ikut andil
mengakselerasi kemampuan orang Eropa dalam penguasaan
keilmuan yang gongnya adalah
terjadinya revolusi industri pada abad ke-17.
Pergulatan Ide Sains dan Islam:
Pandangan Beberapa Tokoh
Leif Stenberg dalam bukunya The
Islamization of Science: Four Muslims Positions
Developing an Islamic Modernity
(1996) menyebutkan bahwa titik berangkat diskursus
hubungan sains dan Islam adalah saat
Ernest Renan (w. 1892) memulai perdebatan tahun
1883 di Paris yang kemudian direspon
pertama kalinya oleh Jamaluddin al-Afghani (w.
1897). Menurut Renan antara Islam
dan sains itu bertentangan (incompatible). Sejak saat
itu kemudian perdebatan ini menjadi
begitu kompleks khususnya di paruh abad kedua
puluh.
Sorotan
yang Stenberg lakukan adalah mengenai posisi empat tokoh yang ia sebut
sebagai eksponen dalam usaha
islamisai sains yaitu Ismail Raji’ al-Faruqi, Ziauddin
Sardar, Maurice Bucaille, dan Sayyed
Hoessein Nasr. Masing-masing tokoh ini oleh
Stenberg dianggap memiliki beberapa
pandangan yang berkaitan dengan isu hubungan
sains dan Islam.
Al-Faruqi
dikenal sebagai tokoh yang menggagas ide mengenai islamisasi pengetahuan
(islamization of knowledge). Beliau
kemudian mendirikan lembaga pemikiran keislaman
dengan nama International Institute
of Islamic Thought (IIIT) yang memiliki misi
islamisasi dengan langkah-langkah
yang dibuatnya. Yang menarik dari gagasan Faruqi
adalah bahwa usaha islamisasi mesti
ada penguasaan yang cukup komprehensif antara
khasanah keilmuan modern dan
khasanah keilmuan Islam klasik (mastering of modern
and islamic sciences). Ilmuwan
muslim mesti kritis terhadap ilmu-ilmu yang
dikembangkan Barat, dan kemudian
melakukan sebuah integralisasi keduanya. Ini
ditujukan untuk mendapat sebuah
model penguasaan ilmu dengan perspektif Islam
dengan tetap tidak “kuper” dengan
pengetahuan modern yang ada. Dari situlah kemudian
akan menghasilkan model kurikulum
dan pendidikan dalam perspektif Islam. Dan inilah
yang menjadi ultimate goal gagasan
islamisasi pengetahuan ala Faruqi.
Islamisasi
pengetahuan, menurut Taha Jabir al Alwani, mesti dipahami sebagai sebuah
kerja ilmiah dari sudut pandang
metodologis dan epistemologis. Ia bukan sebagai
ideologi atau bahkan sebuah sekte
baru. Ini mesti dipahami terlebih dahulu. Sebab kalau
tidak, orang yang menggelutinya akan
terjebak pada ideologisasi ilmu, dan akan sangat
berbahaya nantinya. Ilmu yang
mengideologi akan sulit berkembang biak.
Sementara ‘Imad al Din Khalil
memandang islamisasi pengetahuan sebagai keterlibatan
dalam pencarian intelektual (an
intellectual pursuits) yang berupa pengujian
(examination), penyimpulan,
penghubungan, dan publikasi dalam memandang hidup,
manusia dan alam semesta dari
perspektif Islam. Sementara Abu al Qasim Hajj Hammad
mendefinisikan islamisasi
pengetahuan sebagai pemecahan hubungan antara pencapaian
ilmiah dalam peradaban manusia dan
perubahan postulat-postulat filosofis, sehingga ilmu
itu dapat digunakan melalui
metodologi yang bernuansakan religius tinimbang yang
spekulatif.
Sementara
Sardar menekankan penguasaan epistemologis dalam membangun kerangka
sains atau pengetahuan Islam.
Sehingga menurutnya sains islami masih harus
dikonstruksi setelah membongkar
sains modern yang ada. Sedangkan Sayyed Hossein
Nasr berpandangan bahwa sains
tradisional Islam di masa lalu sebagai sains islami.
Secara umum, menurut Stenberg,
keempat tokoh yang menjadi objek studinya ini
memiliki kesamaan gagasan dalam
melakukan restorasi hubungan sains dan Islam. Islam,
menurut mereka, sama sekali tidak
ada yang salah. Yang terjadi adalah tidak
teraplikasikannya konsep-konsep
Islam dalam kehidupan nyata.
Selain tokoh-tokoh di atas yang
umumnya berasal dari luar Indonesia, ada juga tokoh-
tokoh Indonesia yang mencoba
membincangkan ide ini, meskipun dengan pola dan
perspektif yang berbeda-beda dalam
pembahasannya. Tokoh-tokoh ini umumnya
memiliki pola pandang sama bahwa
Islam dan sains memiliki titik temu, namun darimana
dan bagaimana memulainya serta
metodologi yang digunakan masing-masing memiliki
pandangan sendiri.
Kuntowijoyo,
misalnya. Beliau menggunakan istilah objektifikasi Islam. Awalnya istilah
ini digunakan sebagai pisau analisis
dalam melihat perkembangan politik aliran di
Indonesia. Menurutnya objektifikasi
adalah memandang sesuatu secara objektif dan
disebutnya sebagai jalan tengah bagi
Islam, agama-agama, dan aliran pemikiran politik
lainnya. Ada tiga hal yang
digunakannya dalam melihat objektifikasi Islam ini yaitu (1)
artikulasi politik hendaknya
dikemukakan melalui kategori-kategori objektif, (2)
pengakuan penuh kepada keberadaan
segala sesuatu yang ada secara objektif, dan (3)
tidak berpikir kawan lawan,
melainkan pada permasalahan bersama.
Relevansinya dengan ide relasi sains
dan Islam adalah bahwa tetap mengedepankan
Abdul Mujib
atau Achmad Mubarok. Keduanya bukanlah psikolog dan tidak memiliki
latar belakang
pendidikan psikologi, namun memiliki akses terhadap literatur-literatur
berbahasa Arab
yang di situ terhampar pemikiran-pemikiran cendekiawan muslim klasik
yang
bersinggungan dengan psikologi, semacam Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Miskawaih
dsb. Mereka
menggunakan istilah psikologi Islam dengan alasan mengambil sumber
langsung dari
khasanah klasik Islam dan kemudian mengkontekstualisasikan dengan
pandangan
psikologi modern. Umumnya mereka yang berlatar pendidikan dari kampus-
kampus yang
memiliki akses terhadap literatur Arab, semacam IAIN yang memiliki
kecenderungan
semacam ini.
Khasanah klasik Islam sering juga disebut
sebagai turats Islam. Dalam buku At-Turats
Wa at-Tajdid,
Hasan Hanafie mengatakan bahwa turats dapat dinisbahkan kepada dua
hal. Pertama,
turats Islam adalah kumpulan kitab-kitab dan manuskrip yang tersimpan
dalam
perpustakaan, gudang, masjid-masjid maupun museum. Di sini, turats berbentuk
material yaitu
turats tertulis, tersimpan dan tercetak dalam bentuk kitab. Namun,
menurutnya
lagi, ada bentuk lain dari turats yang bersifat immaterial, yaitu warisan
kejiwaan dan
adat-istiadat yang telah tertanam dalam jiwa masyarakat.
Secara lebih
maju, Aisyah Abdurrahman (yang terkenal dengan nama samaran Bintu
Syathi-putri
pesisir), dalam bukunya Turatsuna Baina Madli wa Hadlir mengatakan
bahwa kita
tidak dapat membatasi lingkup turats Islam pada zaman dan wilayah tertentu.
Karena turats
Islam mencakup seluruh warisan peradaban kuno kita, di sepanjang zaman
dan tempat,
maka, tentu saja warisan kebudayaan Mesir kuno yang tertulis di atas kertas-
kertas papirus
adalah termasuk turats Islam pula. Demikian pula halnya peninggalan
kerajaan
Babylonia, Asyur, Syam, Yaman, Mesir, Maghrib dan wilayah-wilayah lainnya.
Hal itu,
menurut Aisyah Abdurrhaman, karena seluruh penduduk wilayah tersebut telah
memeluk Islam,
maka secara otomatis masa lampau mereka menjadi milik Islam pula.
Dalam
kajian-kajian psikologi, turats Islam yang berupa manuskrip tulisan dari
cendekiawan
muslim klasik cukup banyak, baik yang berupa konsep yang masih potensi
maupun yang
manifest. Misalnya, konsep perkembangan moral dan rasio seseorang bisa
dibaca dalam
karya klasik Ibn Thufail yang berjudul Hayy ibn Yaqzhan. Atau konsep-
konsep umum
mengenai nafs, qalb, atau akal yang dikemukakan oleh tokoh semacam al-
Ghazali, Ibn
Miskwaih, Ibnul Qoyyim al-Jauzi, bahkan pada konsep tentang tabir mimpi
yang pernah
dibahas oleh Ibn Sirrin jauh sebelum Freud mengemukakan teorinya tentang
analisis mimpi.
Turats Islam ini bisa menjadi sumber kajian
psikologi dalam perspektif Islam, tinggal
bagaimana
mengkonseptualisasikan dan mengkontekstualisasikannya dengan kondisi saat
sekarang ini.
Sayangnya literatur mereka yang menggunakan bahasa Arab belum banyak
yang mengakses,
justru oleh mereka kaum muslim yang belajar psikologi, khususnya di
Indonesia ini.
Dua model
pengembangan ini sebenarnya masih tetap perlu dilakukan, meskipun
kelemahan-kelemahan
fundamental tetap ada. Jika terlalu memfokuskan pada pendekatan
modern kemudian
melabelkannya dengan Islam, maka yang terjadi adalah bukan muncul
suatu ilmu,
melainkan hanya menempel-nempelkan yang dianggap cocok (labeling).
Apabila ini
yang dilakukan maka akan sangat mudah goyah karena fondasinya tidak kuat.
Sedangkan jika
turas Islam yang belum dikonseptualisasi dan dikontekstualisasikan akan
sulit
teraplikasi di zaman sekarang ini. Selain konsep-konsep yang ada adalah konsep
filosofis, juga
kondisi umat manusia pada abad pertengahan tentu memiliki karakteristik
yang berbeda
dengan umat manusia sekarang ini.
Lalu apakah
model integralisasi model Faruqi yang dilakukan? Memang banyak tawaran,
tinggal mana
yang kiranya pas dan mampu diaplikasikan dalam kerangka teoritis
akademis maupun
aplikasi pragmatis. Pemahaman dan penguasaan terhadap keilmuan
modern
kontemporer dari Barat bukan suatu hal yang tidak perlu dilakukan. Namun juga
tidak kemudian
menerima apa adanya (taken for granted) terhadap model-model
pemikiran
mereka. Langkah kritis terhadap pemikiran mereka perlu dilakukan. Sementara
penguasaan
turats Islam dijadikan sebagai fondasi pemikiran. Kemudian turats Islam
tersebut
dikaji, dikritisi, dikonspetualisasi dan dikontekstualisasikan. Tak tertutup
kemungkinan
melakukan sebuah studi komparasi antara pemikiran-pemikiran Barat
tentang
psikologi dengan pemikiran-pemikiran yang berasal dari turats Islam.
Penutup
Memang bukan
pekerjaan mudah dalam mewujudkan sebuah ilmu pengetahuan yang
dapat diterima
secara luas (broadly acceptable). Freud saja konsepnya masih terus
menerus
dikritik dan dianggap tidak memenuhi kriteria ilmu pengetahuan oleh beberapa
pihak. Namun
inilah yang menjadi sasaran kritik saat ini. Hegemoni pengetahuan yang
dikembangkan
Barat memang cenderung kaku dan prosedural. Padahal fitrah ilmu
pengetahuan itu
adalah dinamis dan dalam kasus-kasus tertentu bisa jadi akan melawan
kekakuan dan
prosedur-prosedur yang disebut ilmiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar